(Meminimalkan Potensi Konflik)
Oleh K.H. Abdullah Gymnastiar
Banyak orang yang menyangka bahwa
pernikahan itu indah. Padahal sebetulnya? Indah ...sekali. Tak sedikit yang
menyesal, kenapa tak dari dulu menikah.
Sahabat, itu adalah secuplik
ungkapan yang lazim terdengar tentang pernikahan. Namun jelas, tak segampang
yang dibayangkan untuk membina sebuah keluarga. Membangun sebuah keluarga
sakinah adalah suatu proses. Keluarga sakinah bukan berarti keluarga yang diam
tanpa masalah. Namun lebih kepada adanya keterampilan untuk manajemen konflik.
Ada tiga jenis manajemen konflik
dalam rumah tangga, yaitu pencegahan terjadinya konflik, menghadapai tatkala
konflik terlanjur berlangsung, dan apa yang harus dilakukan setelah konflik
reda.
Pada kesempatan pertama, insya
Allah kta akan mengurai tentang bagaimana meminimalkan terjadinya konflik di
dalam rumah tangga kia.
1. Siap dengan hal yang tidak
kita duga
Pada dasarnya kita selalu siap
untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Mudah bagi kita bila yang terjadi
cocok dengan harapan kita. Namun, bagaimanapun, setiap orang itu berbeda-beda.
Tidak semuanya harus sama "gelombangnya" dengan kita. Maka yang harus
kita lakukan adalah mempersiapkan diri agar potensi konflik akibat perbedaan
ini tidak merusak.
Dalam rumah tangga, bisa jadi
pasangan kita teryata tidak seideal yang kita impikan. Maka kita harus siap
melihat ternyata dia tidak rapi, tidak secantik yang dibayangkan atau tidak
segesit yang kita harapkan., misalnya. Kita harus berlapang dada sekali andai
ternyata apa yang kita idamkan, tidak ada pada dirinya. Juga sebaliknya,
apabila yang luar biasa kita benci. Ternyata isteri atau suami kita memiliki
sikap tersebut.
2. Memperbanyak pesan Aku
Tindak lanjut dan kesiapan kita
menghadapi perbedaan yang ada, adalah memeperbanyak pesan aku. Sebab, umumnya
makin orang lain menegetahui kita, makin siap dia menghadapi kita. Misalnya
sebagai isteri kita terbiasa katakanlah mengorok ketika tidur. Maka agar suami
dapat siap menghadapi hal ini, kita bisa mengatakan "Mas, orang bilang,
kalau tidur saya itu suka ngorok,.... jadi Mas siap-siap saja. Sebab,
sebetulnya, saya sendiri enggak niat ngorok."
Lalu sebagai suami, misalnya kita
menyatakan keinginan kita: "Saya kalau jam tiga suka bangun. Tolonglah
bangunkan saya. Saya suka menyesal kalau tidak Tahajjud. Dan kalau sedang
Tahajjud, saya tidak ingin ada suara yang mengganggu."
Dengan demikian, diharapkan tidak
terjadi riak-riak masalah akaibat satu sama lain tidak memahami nilai-nilai
yang dipakai oleh pasangan hidupnya. Sebab sangat mungkin orang membuat
kesalahan akibat dia tidak tahu tata nilai kita. Yang dampaknya akan banyak
muncul ketersinggungan-ketersinggungan. Maka di sinilah perlunya kita belajar
memberitahukan. Memberitahukan apa yag kita inginkan. Inilah esensi dari pesan
aku.
Dengan demikian ini akan membuat
peluang konflik tidak membesar. Karena kita telah mengkondisikan agar orang
memahami kita. Sungguh tidak usah malu menyatakan harapan ataupun
keberatan-keberatan kita. Sebab justru dengan keterbukaan seperti ini pasangan
hidup kita dapat lebih mudah dalam menerima diri kita. Termasuk dalam hal
keberadaan orang lain.
Misalnya orang tua kita akan
datang. Maka adalah suatu tindakan bijaksana apabila kita mengatakan kepada
suami tentang mereka. Sebagai contoh, orang tua kita mempunyai sikap cukup
cerewet, senang mengomentari ini itu. Maka katakan saja: "Pak... saya
tidak bermaksud meremehkan. Namun begitulah adanya. Orang tua saya banyak
bicara. Jangan terlalu difikirkan, itu memang sudah kebiasaan mereka. Juga
dalam hal makanan, yang ikhlas saja ya Pak...kalau nanti mereka makannya pada
lumayan banyak..."
Sungguh sahabat, makin kita jujur
maka akan semakin menentramkan perasaan masing-masing di antara kita.
Alkisah, ada sebuah keluarga.
Sering sekali terjadi pertengkaran. Akhirnya, suatu ketika si isteri bicara
"Pak, maaf ya, keluarga kami memang bertabiat keras. Sehingga bagi kami
kemarahan itu menjadi hal yang amat biasa."
Lalu suaminya membalas
"Sedangkan Papa lahir dari keluarga pendiam, dan jarang sekali ada
pertempuran..."
Jelas itu akan membuat keadaan
berangsur lebih baik dibanding terus menerus bergelut dalam
pertengkaran-pertengkaran yang semestinya tak terjadi.
Jadi kita pun harus berani untuk
mengumpulkan input-input tentang pasangan kita. Misalnya ternyata dia punya BB
atau bau badan. Maka kita bisa menyarankan untuk meminum jamu, sekaligus
memberitahukan bahwa kadar ketahanan kita terhadap bau-bauan rendah sekali.
Sehingga ketika kita tiba-tiba memalingkan muka dari dia, isteri kita itu tidak
tersinggung. Karena tata nilainya sudah disamakan.
Tentunya, dengan saling
keterbukaan seperti itu masalah akan menjadi lebih mudah dijernihkan dibanding
masing-masing saling menutup diri.
Ketertutupan, pada akhirnya akan
membuat potensi masalah menjadi besar. Kita menjadi mengarang kesana kemari,
membayangkan hal yang tidak tidak berkenaan dengan pasanagan hidup kita.
Dongkol, marah, benci dan seterusnya. Padahal kalau saja didiskusikan, bisa
jadi masalahnya menjadi sangat mudah diselesaikan. Dan potensi konflik pun
menjadi minimal.
3. Tentang aturan
Kita harus memiliki aturan-aturan
yang disepakati bersama. Karena kalau tak tahu aturan, bagaimana orang bisa
nurut? Bagaimana kita bisa selaras? Jadi kita harus membuat aturan
sekaligus...sosialisasikan!
Misalnya isteri kita jarang
mematikan kran setelah mengguanakan. Bisa jadi kita dongkol. Disisi lain, boleh
jadi isteri malah tak merasa bersalah sama sekali. Sebab dia berasal dari desa.
Dan di desa.. pancuran toh tak pernah ditutup.
Begitu pula pada anak-anak. Kita
harus mensosialisasikan peraturan ini. Tidak usah kaku. Buat saja apa yang bisa
dilaksanakan oleh semua. Makin orang tahu peraturan, maka peluang berbuat salah
makin minimal.