Manusia Sebagai Makhluk Pendidikan | Mata Kuliah Pedagogik

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Manusia merupakan ciptaan Allah SWT. Yang paling istimewa bila dilihat dari sosok diri, serta beban dan tanggung jawab yang diamanatkan. Sifat kodrati manusia sebagai makhluk pribadi, sosial, susila dan religi harus dikembangkan secara seimbang, selaras dan serasi. Perlu disadari, bahwa manusia hanya mempunyai arti hidup secara layak jika ada diantara manusia lainnya. Tanpa ada manusia lain atau tanpa hidup bermasyarakat, seseorang tidak dapat menyelenggarakan hidupnya dengan baik.
Untuk meningkatkan kualitas hidup, manusia memerlukan pendidikan, baik pendidikan yang formal, informal maupun nonformal. Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. "Hewan" juga belajar, tetapi lebih ditentukan oleh instinknya, sedangkan manusia belajar berarti merupakan rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti. Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya dan manakala anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga, mereka akan mendidik anak-anaknya. Begitu juga di sekolah dan perguruan tinggi, para siswa dan mahasiswa diajar oleh guru dan dosen.
Salah satu permasalahan yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah masalah pendidikan. Dalam al-Qur'an sendiri telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan sangat penting. Jika Al-Qur'an dikaji lebih mendalam, maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa kita jadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Berdasarkan hal di atas, maka dalam makalah ini penulis akan mem-bahas konsepsi Al-Qur'an tentang "Manusia Sebagai Makhluk Pendidikan".

B.    Tujuan
Untuk mengetahui landasan yang jelas dan kokoh berkenaan dengan perlu dan tidak nya kita mnyelenggerakan pendidikan.
C.    Rumusan Masalah
1.    Apakah manusia harus menjadi manusia dewasa?
2.    Apakah eksistensi dan perkembangan manusia bersifat terbuka?
3.    Apakah manusia sebagai makhluk yang perlu bantuan?
4.    Apakah manusia sebagai makhluk yang perlu dididik dan perlu                 mendidik?
5.    Apakah manusia sebagai makhluk yang dapat di didik?
6.    Apa saja batas – batas pendidikan?

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Keharusan Manusia Untuk Menjadi Manusia Dewasa
Siapapun bisa menyangsika apa saja, tetapi kiranya kita tidak memiliki kesangsian tentang keberadaan manusia di dunia. Namun demikian muncul pertanyaan, apakah keberadaan manusia di dunia ini atas kehendak atau atas pilihan manusia itu sendiri? Sebagaimana dikemukakan Martin Heidegger, manusia itu ibaratnya “terlempar” dan “terdampar” di dunia, tahu-tahu ia sudah berada di dunia. Keberadaannya di dunia bukanlah atas pilihannya sendiri, tetapi inilah realitas bahwa manusia berada di dunia. Inilah kenyataan hidup dan takdir manusia. Dengan kata lain dapat dipahami, manusia berada di dunia bukan atas prakarsa dan kuasanya sendiri, Tuhanlah yang telah menjadikannya dan menurunkannya ke dunia.
Mengenai keberadaannya manusia di dunia, pada awalnya memang bukan atas prakarsanya sendiri dan di luar kuasa manusia itu sendiri. Tetapi bersamaan dengan itu, manusia dihadapkan kepada suatu kenyataan bahwa ia harus melanjutkan keberadaannya (eksistensinya). Manusia memiliki suatu kesadaran untuk mewujudkan berbagai kemungkinan dalam eksistensinya, ia harus meng-ada-kan dirinya sendiri atau harus bereksistensi. Meng-ada-kan dirinya sendiri dalam kalimat di atas bukan berarti menciptakan sesuatu sebagaimana Tuhan mengadakan (menciptakan) sesuatu dari ketiadaan, melainkan bahwa manusia itu harus merencanakan, berjuang atau berbuat untuk menjadi siapa dirinya itu.
Bereksistensi berarti merencanakan, berbuat dan menjadi. Masalahnya, manusia itu bereksistensi untuk menjadi siapa? Eksistensi manusia tiada lain adalah untuk menjadi manusia. To be a man is to become a man, demikian Karl Jaspers menyatakannya. Itulah tugas yang diembannya. Jadi hakikatnya, manusia harus menjadi manusia ideal (manusia yang diharapkan, dicita-citakan, atau menjadi manusia yang seharusnya). Dari mana idealisme (keharusan, cita-cita/harapan) itu muncul? Idealisme itu bersumber dari Tuhan yang diketahui melalui ajaran agama yang diturunkan-Nya, bersumber dari sesame dan budayanya, bahkan dari diri manusia itu sendiri. Adapun manusia ideal yang dimaksud adalah manusia yang telah mampu mewujudkan berbagai potensinya secara optimal, sehingga beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya; mampu memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar, mampu mengendalikan hawa nafsunya; berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya.

B.    Eksistensi dan Perkembanagan Manusia bersifat Terbuka
Eksistensi Manusia bersifat Terbuka. Setelah kelahirannya, dalam rangka-melanjtukan-eksistensinya, manusia selalu dihadapkan kepada keharusan untuk menentukan pilihan menjadi ini atau menjadi itu. Manusia memiliki kebebasan  menentukan pilihan untuk menjadi siapa dia nantinya. Bersamaan dengan kebebasannya tersebut, manusia pun dituntut harus bertanggung jawab atas pilihan yang diambilnya. Berkenaan dengan ini dapatlah dimaklumi, bahwa manusia bersifat terbuka, artinya bahwa dalam eksistennya manusia adalah makhluk yang belum selesai mengadakan dirinya sendiri. Ia harus merencanakan dan terus menerus berupaya “mewujudkan” apa yang telah direncanakannya itu, untuk menjadi seseorang pribadi tertentu sesuai pilihannya (bereksistensi).
Perkembangan Manusia bersifat Terbuka.  Untuk memahami sesuatu kita perlu melakukan perbandingan, demikian pula untuk memahami sifat perkembangan manusia. Bolk telah mengemukakan teori retardasi (teori perlambatan dan perkembangan) sebagai hasil perbandingan antara perkembangan manusia dengan perkembangan hewan. Teorinya menunjukkan bahwa perkembangan hewan bersifat terspesialisasi (tertutup), sedangkan perkembangan manusia bersifat belum terspesialisasi (terbuka), dengan itu, apabila dibandingkan dengan hewan. Nietzschenmenyatakan bahwa manusia adalah binatang/hewan yang tidak ditetapkan atau das nicht festgesestellte Tier. (C.A. van Peursen, Tanpa Tahun).
Perkembangan hewan bersifat terspesialisasi/tertutup. Contoh: kerbau lahir sebagai anak kerbau, selanjutnya ia hidup dan berkembang sesuai kodrat kekerbauannya (mengkerbau/menjadi kerbau). Mustahil anak kerbau berkembang menjadi serigala. Sebaliknya, perkembangan manusia bersifat terbuka. Manusia memang telah dibekali berbagai potensi untuk mampu menjadi manusia, misalnya: potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, potensi untuk dapat berbuat baik, potensi cipta, rasa karsa, dsb. Namun demikian setelah kelahirannya, berbagai potensi tersebut mungkin terwujudkan, mungkin kurang terwujudkan, atau mungkin pula tidak terwujudkan. Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya (memanusia), sebaliknya mungkin pula ia berkembang ke arah yang kurang atau tidak sesuai dengan kodrat dan martabat kemanusiaannya (kurang/tidak memanusia). Contoh: Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan fenomena perilaku orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhannya, orang-orang yang berprilaku sesuai dengan nilai dan norma budaya masyarakatnya, dsb. Sebaliknya, kita pun menyaksikan fenomena orang-orang yang berperilaku kurang/tidak sesuai dengan perilaku manusia yang seharusnya, baik menurut nilai dan norma agama maupun budayanya. Perilaku koruptor baik tikus kantor bukan? Contoh lain dikemukakan Anne Rollet, ia melaporkan bahwa sampai tahun 1976 para etnolog telah mencatat 60 anak-anak buas yang hidup bersama dan dipelihara oleh binatang. Tidak diketahui bagaimana awal kejadiannya, yang jelas telah ditemukan bahwa diantara ke-60 anak tersebut ada yang dipelihara oleh serigala, kijang, kera, dsb. Anak-anak tersebut berperilaku tidak sebagaimana layaknya manusia, melainkan bertingkah laku sebagaimana binatang yang memeliharanya. Mereka tidak berpakaian, agresif untuk menyerang dan menggigit, tidak dapat tertawa, ada yang tidak dapat berjalan tegak, tidak berbahasa sebagaimana bahasanya manusia, dll. (Intisari, No.160 Tahun ke XIII, November 1976:81-86).
Demikianlah, perkembangan manusia bersifat terbuka atau serba mungkin, mungkin menjadi manusia, mungkin kurang menjadi manusia bahkan mungkin tidak menjadi manusia.

C.    Manusia sebagai Makhluk yang Perlu Bantuan
Pada saat dilahirkan, manusia berada dalam keadaan “tidak berdaya”. Ia belum bisa berdiri, belum bisa berjalan, belum bisa mencari makanan sendiri, dsb. Pada saat ia dilahirkan, untuk dapat mempertahankan hidupnya saja ia memiliki ketergantungan dan betapa ia memerlukan bantuan dari ibu dan ayahnya, atau dari orang dewasa lainnya. Demikian pula dalam rentang waktu tertentu dalam perjalanan hidupnya lebih lanjut, banyak tantangan dan masalah yang ia hadapi dan harus dapat ia selesaikan. Sementara itu, selain anak manusia belum dapat memenuhi berbagai kebutuhan pangan dan sandangnya secara mandiri, ia pun belum menguasai berbagai pengetahuan (ilmu pengetahuan) dan keterampilan yang dibutuhkannya dalam rangka memecahkan berbagai masalah hidupnya, ia belum tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang jahat, belum tahu ke mana arah tujuan hidupnya dsb. Dengan demikian, dalam perjalanan hidupnya itu, anak manusia masih harus belajar untuk “hidup”, adapun hal tersebut mengimplikasikan adanya ketergantungan dan perlunya anak memperoleh bantuan dari orang dewasa.’
Sejak kelahirannya, anak manusia memang telah dibekali insting, nafsu dan berbagai potensi untuk dapat menjadi manusia atau untuk dapat menjadi dewasa. Manusia memiliki potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan potensi untuk berbuat baik, namun di samping itu karena hawa nafsunya ia pun memiliki potensi untuk berbuat jahat. Selain itu, manusia memiliki potensi untuk mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak (karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya. Tetapi bagi anak manusia, insting, nafsu, dan semua potensi itu belum mencukupi untuk dapat langsung menjalani dan mengahadapi kehidupan serta untuk dapat mengatasi semua masalah dan tantangan dalam hidupnya. Contoh: dalam rangka makan, manusia tidak cukup mengandalkan insting dan nafsu saja. Sebab, makan bagi manusia bukan hanya menyangkut lapar dan pemenuhan kebutuhan sehubungan dengan rasa lapar. Makan bagi manusia menyangkut berbagai hal yang cukup kompleks. Pada awalnya, disadari maupun tidak disadari, ia harus belajar memakan jenis makanan tertentu, mulai dari makanan yang lembek hingga ia mampu memakan berbagai jenis makanan yang padat. Selang beberapa tahun kemudian, setelah menyadari “diri/aku”-nya dan mengenal berbagai jenis makanan, makan bagi manusia menjadi berkaitan dengan keinginan, dan pilihan tentang jenis makanan yang harus didapatkan sesuai dengan kesukaannya. Ia tidak bisa memakan sembarangan jenis makanan, makan bersangkutan dengan pengetahuan (ilmu) gizi dan kesehatan, menyangkut masalah halal dan haram, maslaah bagaimana cara mendapatkan bahan makanan, menyangkut masalah bagaimana mengolah bahan makanan, masalah tata cara makan, dsb. Bahkan, bagi manusia, mencari makanan pun menyangkut masalah pertanian, ekonomi, adat kebiasaan, agama dan berbagai dimensi kehidupan lainnya, yang mengharuskan ia menguasai kompetensi tertentu untuk semua itu. Hanya untuk dapat makan saja (makan secara manusiawi), manusia tidak cukup mengandalkan insting dan nafsunya, melainkan menuntut perwujudan berbagai potensi yang dibawanya sejak ia dilahirkan. Demikian pula untuk hal-hal lainnya, untuk mampu memecahkan berbagai masalah dan tantangan dalam hidup yang harus diselesaikannya.
Berbagai potensi yang dimiliki manusia tidak otomatis mewujud dalam perkembangan anak manusia setelah ia dilahirkan. Untuk dapat mewujudkan semua potensinya itu, anak manusia mempunyai ketergantungan kepada orang dewasa. Sebelum mencapai kedewasaannya, anak manusia memerlukan bantuan orang dewasa dalam rentang waktu yang cukup lama.

D.    Manusia sebagai Makhluk yang Perlu Dididik dan Mendidik Diri
Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian terdahulu, eksistensi manusia bersifat terbuka, artinya bahwa manusia adalah makhluk yang belum selesai mengadakan dirinya sendiri. Dengan demikian, manusia berada dalam perjalanan hidup, dalam perkembangan dan mengembangkan diri. Ia adalah manusia tetapi sekaligus “belum selesai” mewujudkan dirinya sendiri.
Bersamaan dengan hal di atas, dalam eksistensinya manusia mengemban tugas untuk menjadi manusia ideal, yaitu manusia dewasa. Sosok manusia ideal atau manusia dewasa merupakan gambaran manusia yang dicita-citakan atau yang seharusnya. Sebab itu, sosok manusia ideal atau kedewasaan tersebut belum terwujudkan, melainkan harus diupayakan untuk diwujudkan.
Keharusan manusia adalah menjadi manusia atau mencapai kedewasaan, tetapi secara factual perkembangan manusia bersifat terbuka atau serba mungkin, mungkin menjadi manusia, mungkin kurang menjadi manusia bahkan mungkin tidak menjadi manusia. Bagi anak manusia, insting, nafsu, dan semua potensi yang dibawanya sejak lahir belum mencukupi untuk dapat mengatasi semua masalah dan tantangan dalam hidupnya. Berbagai kompetensi/kemampuan sebagai perwujudan berbagai potensinya yang seharusnya dimiliki manusia tidak dibawa sejak ke-lahirannya, melainkan harus diperoleh setelah kelahirannya dalam perkembangan menuju kedewasaan.
Di satu pihak, berbagai kompetensi/kemampuan tersebut diperoleh manusia melalui upaya bantuan dari pihak lain. Mungkin dalam bentuk pengasuhan, pengajaran, latihan, bimbingan, dan berbagai bentuk kegiatan lainnya yang dapat dirangkum dalam istilah pendidikan. Di pihak lain, manusia yang bersangkutan juga harus belajar atau harus mendidik diri. Mengapa manusia harus mendidik diri? Sebab, dalam bereksistensi yang harus mengadakan/menjadikan diri itu hakikatnya adalah manusia itu sendiri. Sebaik dan sekuat apa pun upaya yang diberikan pihak lain (pendidik) kepada seseorang (anak didik) untuk membantunya menjadi manusia atau untuk mencapai kedewasaan, tetapi apabila seseorang tersebut (anak didik) tidak mau mendidik diri, maka upaya bantuan tersebut tidak akan memberikan kontribusi bagi kemungkinan seseorang tadi untuk menjadi manusia atau menjadi manusia dewasa. Lebih dari itu, jika sejak kelahirannya perkembangan dan pengembangan kehidupan manusia diserahkan kepada dirinya masing-masing tanpa dididik oleh orang lain dan tanpa upaya mendidik diri dari pihak manusia yang bersangkutan, kemungkinannya ia hanya akan hidup berdasarkan dorongan instingnya saja. Berkenaan dengan perlunya manusia mendidik diri, simaklah wejangan Plotinos (meninggal tahun 270 M) berikut ini: “Menyendirilah dan lihat. Dan jika kamu temui dirimu belum lagi elok, bertindaklah bagaikan pencipta sebuah patung yang akan diperindah; ia memangkas di sini dan menorah di sana. Memperingan garis ini dan memurnikan garis lainnya lagi, hingga sebuah patung yang molek tampil atas karyanya. Lakukanlah pula seperti itu;…. Janganlah sekali-kali berhenti memahat patungmu….” (E.F. Schumacher, 1980:77)
Manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, untuk menjadi manusia ia perlu dididik dan mendidik diri. “Manusia dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan”, demikian kesimpulan Immanuel Kant dalam teori pendidikannya (Henderson, 1959). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil studi M.J. Lavengeld yang memberikan identitas kepada manusia dengan sebutan “Animal Educandum” atau hewan yang perlu dididik dan mendidik diri (M.J. Lavengeld, 1980).
Kita dapat mengidentifikasikan empat prinsip antropologis yang menjadi alasan bahwa manusia dapat dididik. Keempat prinsip yang dimaksud adalah:
1.    Manusia belum selesai mengadakan dirinya sendiri.
2.    Keharusan manusia untuk menjadi manusia dewasa.
3.    Perkembangan Manusia bersifat terbuka.
4.    Manusia sebagai makhluk yang lahir tak berdaya, memiliki ketergantungan dan memerlukan bantuan.
E.    Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Dididik
M.J. Langeveld (1980) memberikan identitas kepada manusia sebagai “Animal Educabile” atau hewan yang dapat dididik. Dengan mengacu kepada asumsi bahwa manusia akan dapat dididik diharapkan kita menjadi sabar dan tabah dalam melaksankan pendidikan. Andaikan saja kita telah melaksanakan upaya pendidikan, sementara peserta didik belum dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, kita seyogyanya tetap sabar dan tabah untuk tetap mendidiknya. Dalam konteks ini, kita justru perlu melakukan introspeksi diri, barangkali saja terjadi kesalahan-kesalahan yang kita lakukan dalam upaya pendidikan tersebut, sehingga peserta didik terhambat dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
Pendidikan bertujuan agar seseorang menjadi manusia ideal atau manusia dewasa. Sosok manusia ideal tersebut antara lain adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, bermoral/berakhlak mulia, cerdas, berperasaan, berkemauan, mampu berkarya, dst. Telah kita pahami melalui uraian di muka bahwa manusia dibekali Tuhan dengan berbagai potensi, yaitu: potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, potensi untuk mampu berbuat baik, potensi cipta, rasa, karsa dan potensi karya. Terdapat hubungan yang sesuai  (matching) antara berbagai potensi yang dimiliki manusia untuk dapat menjadi manusia (dewasa) dengan keharusan manusia untuk mencapai kedewasaan. Kita dapat memprediksi apa yang akan terjadi apabila satu pihak manusia dituntut harus menjadi manusia dewasa, sementara ia tidak memiliki potensi untuk itu. Sebab itu dapat kita pahami, manausia akan dapat dididik untuk menjadi dewasa karena ia memiliki potensi untuk menjadi dewasa.
N. Drijarkara S.J. (1986) menyatakn bahwa manusia mempunyai atau berupa dinamika (manusia sebagai dinamika), artinya manusia tidak pernah berhenti, selalu dalam keaktifan, baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Dinamika mempunyai arah horizontal (ke arah sesama dan dunia) maupun arah transcendental (ke arah Yang Mutlak). Adapun dinamika itu adalah untuk penyempurnaan diri baik dalam hubungannya dengan sesama, dunia dan Tuhan. Ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan diupayakan dalam rangka membantu atau membimbing manusia (anak didik) agar menjadi manusia ideal (manusia dewasa). Di pihak lain, manusia (anak didik) itu sendiri memiliki dinamika untuk menjadi manusia ideal (manusia ideal). Manusia selalu aktif baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualanya. Ia selalu menginginkan dan mengejar segala hal yang lebih dari apa yang telah ada atau yang telah dicapainya. Ia berupaya untuk mengaktualisasikan diri agar menjadi manusia ideal, baik dalam rangka interaktif/komunikasinya secara horizontal maupun vertical. Karena itu dinamika manusia mengimplikasikan bahwa ia akan dapat dididik.
Praktek pendidikan merupakan upaya pendidik dalam membimbing manusia (anak didik) yang antara lain diarahkan agar ia mampu menjadi dirinya sendiri (menjadi seseorang/pribadi) atau menjadi orang dewasa sesuai dengan pilihan/cita-citanya sendiri. Di pihak lain, manusia (peserta didik) adalah individu yang memiliki kedirisendirian (subyektivitas), bebas dan aktif berupaya untuk menjadi dirinya sendiri atau untuk menjadi manusia dewasa sesuai dengan pilihan/cita-citanya. Sebab itu, individualitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
Pendidikan hakikatnya berlangsung dalam pergaulan (interaksi/komunikasi) antar sesama manusia (antara pendidik dengan anak didik). Melalui pergaulan tersebut pengaruh pendidikan disampaikan oleh pendidik dan diterima oleh peserta didik. Manusia (anak didik) hakikatnya adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya. Dalam kehidupan bersama dengan sesamanya ini akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik di mana setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Sebab itu, maka sosialitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
Pendidikan bersifat normatif, artinya dilaksanakan berdasarkan sistem norma dan nilai tertentu. Pendidikan bertujuan agar manusia berakhlak mulia; agar manusia berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber dari agama, masyarakat dan budayanya. Di pihak lain, manusia berdimensi moralitas, manusia mampu membedakan yang baik dan yang jahat. Sebab itu, dimensi moralitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik. Mengacu kepada prinsip tersebut maka di sini dapat dinyatakan bahwa tidak ada pendidikan untuk hewan. Hewan tidak akan dapat dididik karena bukan makhluk bermoral atau tidak memiliki dimensi moralitas. Hewan tidak dapat membedakan antara baik dan jahat.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditemukan lima prinsip antropologis yang melandasi kemungkinan manusia akan dapat dididik, yaitu:
1.    Prinsip potensialitas.
2.    Prinsip dinamika.
3.    Prinsip individualitas.
4.     Prinsip sosialitas.
5.     Prinsip moralitas

F.    Batas-batas Pendidikan
Masalah Batas Pendidikan. Sebagaimana dikemukakan oleh M.I. Soelaeman (1988:42-51) mengenai batas-batas pendidikan ini terdapat 2 permasalahan, yaitu: (1) batas pendidikan, dan (2) batas kemungkinan untuk mendapatkan pendidikan atau untuk dididik. Sebelum membahasnya lebih lanjut, perlu disepakati dulu tentang makna pendidikan. Dalam konteks ini pendidikan adalah upaya sengaja yang dilakukan orang dewasa untuk membantu atau membimbing anak atau orang yang belum dewasa agar mencapai kedewasaannya. Inilah acuan kita untuk membahas batas-batas pendidikan.
Jenis Batas Pendidikan. Batas pendidikan dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu: (1) batas bawah pendidikan, (2) batas atas pendidikan, dan (3) batas pendidikan berkenaan dengan pribadi anak didik. Adapun batas kemungkinan dididik berkenaan dengan konsep atau teori mengenai bakat (potensi) dan perkembangannya.
Batas Bawah dan Batas Atas Pendidikan. Batas bawah pendidikan atau saat pendidikan dapat mulai berlangsung adalah ketika anak didik mengenal kewibawaan yaitu kurang lebih sekitar 3,5 tahun. Adapun batas atas pendidikan atau kapan pendidikan berakhir, yaitu ketika tujuan pendidikan telah tercapai atau ketika anak mencapai kedewasaan. Batas pendidikan sehubungan dengan tujuan, tercapainya manakala tujuannya telah digariskan semula telah tercapai. Batas dalam arti ini menjadi penting  artinya apabila kita bersangkutan dengan berbagai tujuan pendidikan. Misalnya dalam usaha mencapai tujuan sementara-agar anak pandai makan dengan menggunakan sendok dan garpu-makna batas pendidikan tersebut dicapai manakala anak telah mampu makan dengan menggunakan sendok dan garpu. Dan contoh-contoh lainnya.
Batas pendidikan berhubungan dengan pribadi anak didik. Praktek pendidikan hendaknya dilaksanakan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan anak didik. Pendidik dalam melaksanakan peranan-peranannya hendaknya tetap menghormati pribadi anak didik. Jangan sampai pendidik mengorbankan pribadi anak didik. Contoh: Pendidikan yang keras dimana pendidik menggunakan hukuman badan yang keras dapat menjurus kepada pengabaian pribadi anak didik, sehingga anak didik nyaris diperlakukan sebagai hewan. Sebaliknya, pendidikan yang memperlakukan dan bertindak terhadap anak didiknya seperti terhadap orang dewasa, atas dasar pandangan bahwa anak itu adalah orang dewasa dalam bentuk mini, sudah dekat pada batas-batas pendidikan dalam artian ini. Semua itu jelas berkaitan dengan apa yang disebut keanakan (kewajaran anak). Lavengeld (1980:34) pernah mengingatkan bahwa “pergaulan yang tidak menghormati keanakan itu menunjukkan kekurangan dan ketidaksempurnaan pedagogis”.
Batas kemungkinan dididik. Diyakini bahwa manusia dilahirkan membawa berbagai potensi atau bakat. Pendidikan tidak berurusan dengan pengadaan potensi atau bakat. Batas pendidikan hanya berurusan dengan potensi atau bakat mana yang harus dikembangkan, bagaimana cara mengembangkannya, dan sejauhmana potensi atau bakat yang ada pada diri anak didik telah dikembangkan. Selain itu, batas kemungkinan dididik berhubungan dengan jenis kelamin anak didik. Anak lahir dengan  kelamin laki-laki atau perempuan bukan merupakan urusan pendidikan, urusan pendidikan adalah bagaimana mengembangkan anak laki-laki menjadi laki-laki dan anak perempuan menjadi perempuan.
Batas pendidikan  bersifat individual. Mengingat jenis kelamin dan bakat setiap anak berbeda-beda, implikasinya bahwa dalam hal ini batas pendidikan bagi setiap anak kemungkinannya berbeda-beda pula. Batas pendidikan tidak dapat disamaratakan untuk anak yang satu dengan anak yang lainnya.

BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan

Untuk meningkatkan kualitas hidup, manusia memerlukan pendidikan, baik pendidikan yang formal, informal maupun nonformal. Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. "Hewan" juga belajar, tetapi lebih ditentukan oleh instinknya, sedangkan manusia belajar berarti merupakan rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti. Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya dan manakala anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga, mereka akan mendidik anak-anaknya. Begitu juga di sekolah dan perguruan tinggi, para siswa dan mahasiswa diajar oleh guru dan dosen.

DAFTAR PUSTAKA
Putri, ika. (2012). Manusia dan hakikatnya. [Online]. Tersedia: http://ikaput.blogspot.com/2012/06/makalah-pengantar-ilmu-pendidikan_06.html. (16 April 2014)
Rahmawati, irma. (2011). Manusia sebagai Makhluk Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://pendidikanl.blogspot.com/2011/09/manusia-sebagai-makhluk-pendidikan.html. (16 April 2014)
Syaripudin, tatang. (2014). Pedagogik Teoritis Sitematis. Bandung:Percikan Ilmu

Pengunjung