Makalah Bimbingan Bagi Siswa Dengan Hambatan Pendengaran

Postingan kali ini, adalah masih melanjutkan pembahasan dari Makalah BABK Dengan Hambatan Pendengaran silahkan di simak.

Sebagai bahan pembanding, Harris (1992) mengobservasi 4 orang anak tunarungu yang orang tuanya tunarungu (cdPD). Hasil observasi ini menunjukkan beberapa anak tunarungu lebih lambat dalam perolehan bahasa isyarat. Harris menemukan bahwa perbedaan usia dalam perolehan bahasa isyarat dan jumlah kosakata bahasa isyarat yang dikuasai pertama kasli. Sebagai contoh Harris mencatat bahwa pada usia 2 tahun hanya 1 orang dari 4 anak tunarungu yang dilaporkan oleh orang tuanya menggunakan bahasa isyarat yang bervariasi dalam jumlah yang banyak. Ibu dari anak tunarungu lainnya melaporkan bahwa anaknya hanya menggunakan bahasa isyarat dengan jumlah yang sedikit. Sementara 2 anak tunarungu lainya melaporkan bahwa anaknya belum menggunakan isyarat. Dalam obervasi yang dilakukan selam 20 menit terhadap ke 4 orang anak ini menghasilkan 16, 7, 1 dan 0 isyarat. Di lain pihak Harris mengobservasi anak yang mendengar pada usia yang sama selama 20 menit, hasilnya menunjukkan bahwa anak yang paling aktif berbicara menghasilkan 77 kata yang berbeda-beda dan anak yang paling tidak aktif dalam berbicara menghasilkan 9 kata yang berbea-beda. Dengan kata lain anak tunarungu yang menggunakan kata-kata isyarat pada periode waktu yang sama lebih sedikit menghasilkan isyarat kata dibandingkan dengan anak yang mendengar yang paling tidak aktif berbcara sekalipun.
Temuan Harris sangat menarik karena dapat menunjukkan bukti yang jelas tentang variasi usia dalam perolehan isayarat dan kosa-kata pada anak tunaraungu. Telah kita lihat bahwa anak tunarungu menerima sedikit input baik kuantitas maupun kompleksitas dibandingkan dengan anak yang mendengar. Akan tetapi menurut Harris imput data bukan segala-galanya. Ada data lain yang dapat dijelaskan yaitu seorang ibu anak tunarungu memperkenalkan 101 isyarat yang diambil dari bahasa lisan ketika anaknya berusia 16 bulan tetpi pada usia 24 bulan, anak ini hanya dapat menghasilkan 1 isyarat. Ibu anak ini ternyata salah menerapkan strategi dalam memperkenalkan isyarat dalam mempertautkan sebuah isyarat dengan objek yang dimaksud sehingga dapat dimengerti.
Tampak jelas dari studi ini bahwa perkembangan awal bahasa isyarat pada anakanak tunarungu sama seperti perkembangan awal bahasa lisan pada anak-anak yang mendengar. Tidak ada kesimpulan yang mantap dan meyakinkan bahwa anak tunarungu berkembang lebih awal atau lebih terlambat dibandingkan anak yang mendengar dalam hal perkembangan bahasa.
d)    Perolehan Bahasa Lisan pada Anak Tunarungu
Jumlah atau banyaknya bahasa lisan yang dapat diperoleh oleh anak tunarungu tergantung kepada banyak faktor. Sebagai contoh, seberapa banyak mereka dapar mendengar, apakah yang mereka dengar itu jelas atau tidak terdistorsi, seberapa banyak mereka menggunakan sisa pendengarannya, apakah orang dewasa di sekitar mereka berbicara kepada anak tunarungu dengan jelas.
Anak tunarungu biasanya dapat menggunakan sisa pendengaran jika sisa pendengarannya kurang dari 60 dB. Kehilangan pendengaran pada level ini memungkinkan anak tunaraungu mampu membedakan bunyi bahasa meskipun kemampuan ini mungkin didasarkan pada tanda akuistik yang berbeda. Akan tetapi orang tua anak tunarungu tidak membantu anak seperti yang seharusnya. Banyak sekali percakapan dilakukan ketika anak tunarungu tidak sedang memperhatikan kepada orang tuanya dan orang tua cenderung memberikan fakta-fakta dan jawaban daripada menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang menghendaki jawaban yang jelas. Hal seperti ini juga dilakukan oleh guru-guru di sekolah (Wood, 1981).
Bayi tunaraungu biasanya mulai membuat vokalisasi sama seperti bayi yang mendengar tetapi muulai berbeda pada akhir tahun pertama. Dari  anak yang mendengar mulai mengoceh, menghasilkan pengulangan bunyi suku-kata konsonan-vokal seperti ”dadada”. Akan tetapi produksi vokalisasi seperti itu pada anak tunarungu berkembang terlambat (Spencer, 1993), akan tetapi baru akan muncul secara bertahap pada pada tahun-tahun berikutnya. Oller & Eiler (1988) melaporkan bahwa rentang usia anak tunarungu dalam memproduksi Syllabic babbling muncul antara usia 11-25 bulan, sementara pada anak yang mendengar terjadi pada uisia antara 6-10 bulan. Pada penelitian longitudinal pada 94 anak yang mendengar dan 37 anak tunarungu, Oller & Eiler (1994) melaporkan bahwa produksi syllabic babbling pada anak yang mendengar terjasi pada usia antara 3-10 bulan, sementra pada anak tunarungu terjadi pada usia antara 11-49 bulan.
Bagi anak taunarungu perolehan kata-kata merupana ususan yang sangat sulit. Hanya anak-anak tunarungu yang sangat cerdas akan dapat memiliki sebanyak 200 kata pada usia 4-5 tahun. Pada usia itu, anak yang mendengar akan memiliki sebanyak 2000 kata. Jelas sekali bahwa pemahaman anak tunarungu terhadap bahasa lisan sangat terbatas. Bishop (1983) melaporkan bahwa anak tunarungu yang berusia 8-12 tahun pemahaman bahasa lisannya lebih rendah dari anak yang mendengar yang berusia 4 tahun. Mereka juga mengalami kesulitan dalam memahami arti dari apa yang didengar.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Gregory & Mogford (1981) memberikan informasi yang sangaat berguna perolehan bahasa pada anak tunarungu. Mereka melaporkan bahwa 6 dari 8 anak tunarungu mulai mengucapkan kata pada usia 16 bulan, sementara anak yang mendengar mulai mengucapkan kata pada usia 11 bulan. Tidak mengherankan bahwa semakin bertat derajat ketunarunguan yang dialami anak, maka pemunculan kata yang dapat diucapkan akan dicapai pada usia yang lebih tua. Anak tuanrungu berat berusia 4 tahun dapat mengucapkan kurang dari 10 kata. Rate atau kecepatan dalam memperoleh kata yang dapat diucapkan berbeda antara anak tunarungu dengan anak yang mendengar. Anak yang mendengar memerlukan waktu satu bulan untuk menguasai 1-10 kata, sementra anak tunarungu memerlukan waktu 7 bulan untuk jumlah kata yang sama. Bagi anak tunarungu peningkatan kecepatan dalam perolehan kata-kata adalah sekitar 10 kata per bulan, sementara pada anak yang mendengar rata-rata 50 kata perbulan.
Anak tunarungu dan anak yang mendengar mulai dapat menggabungkan kata-kata ketika sudah mencapai kosa-kata kurang lebih 50 kata pada usia 30 bulan bagi anak tunarungu, dan 18 bulan pada anak yang mendengar. Hal ini diikuti oleh kecepatan peningkatan kosa-kata pada anak yang mendengar tetapi tidak terjadi pada anak tunarungu.
Kata-kata pendek apa yang diperoleh anak tunarungu pertama kali? Gregory & Mogford melaporkan bahwa pada ukuran jumlah kosa-kata 50 dan 100 kata pada anak tunarungu dibandingkan dengan anak yang mendengar, memiliki lebih sedikit namanama objek dan peristiwa dan lebih banyak kata yang digunakan dalam hubungan sosial, seperti ”terima kasih” atau kata yang menyatakan afektif/perasaan seperti ”Auw”. Pada ukuran kosa kata 50 kata anak tunarungu memiliki lebih banyak kata untuk menggambarkan tindakan dan pada ukuran kosa-kata 100 kata, anak tunaarungu memiliki lebih banyak kata yang menggambarkan atribut dari objek.
Jelas sekali bahwa banyak anak tunarungu yang orang tuanya hanya menggunakan pendekatan oral, paling tidak pada tahun-tahun pertama, akan gagal untuk mengembangkan keterampilan oral. Gregory (1995) menemukan bahwa bahasa yang dilpilh oleh 82 tunarungu deewasa dimana orang tuanya hanya menggunakan bahasa linsan ketika mereka berusia 6 tahun adalah Brithis Sing Language 31 orang, Sign Support Language 13 orang, Bahasa Inggris Lisan 30 orang dan 8 orang memiliki keterampilan bahasa yang sangat terbatas. Bahasa yang dipilih berhubungan dengan kehilangan pendegaran. Sebgai contoh anak tunarungu yang mengalami kehilangan pendenngaran lebih darai 50% memililih Brithis Sign Language dan kurang dari 10% memilih bahasa Inggris Lisan. Menarik sekali, meskipun pada tahap permulaan para orang tua menggunakan bahasa oral, tetapi ketika anaknya mencapai usia para orang tua menggunakan isyarat ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya.
Sangat jelas bahwa anak-anak tunarungu berat menghadapi kesulitan dalam memperoleh bahsa lisan. Akan tetapi, terdapat beberapa bukti bahwa keterampilan bahasa lisan anak-anak tunarungu akan menjadi baik jika sejak awak diperkenalkan juga kepada isyarat. Notoya, Suzuki & Furukawa (1994) melakukan studi terhadap 2 orang anak tunarungu Jepang yang orang tuanya  latihan multi sensori termasuk isyarat berdasarkan bahasa jepang lisan, latihan auditori, membaca bibir, dan bahasa tulis sejak selama 2 samapi 14 bulan. Orang tuanya juga belajar isyarat berdasarkan bahasa Jepang. Anak-anak yang berumur 18 bulan dapat menguasai 50 isyarat, dan anak-anak yang berusia 30 bulan dapat mengucapkan 50 kata yang berbeda. Akan tetapi pada usia 42 bulan mereka menguasi 550 isyarat dan kata yang berbeda sekaligus. Jadi, pada usia 3,5 tahun bahasa oral dapat dicapai bersamaan dengan bahasa isyarat.
Temuan ini membuktikan bahwa memperkenalkan isyarat yang didasarkan pada bahasa lisan sejak usia dini kepada anak tunarungu dapat memfasilitasi anak tunarungu dalam perolehan bahasa lisan. Pada usia 5 tahun kedua anak tunaraungu Jepang ini memiliki keterampilan membaca lebih maju dari pada anak yang mendengar. Temuan ini menjadi sangat menarik karena biasanya anak tunarungu sering mengalami hambatan dalam belajar membaca.
e)    Keterampilan Membaca dan Menulis pada Anak Tunarungu
Banyak anak tunarungu memiliki hambatan dalam belajar membaca. Conrad (1979), menemukan bahwa hanya 5 dari 220 orang anak tanarungu berat yang berusia 15- 16,5 tahun yang diteliti selama 2 tahun memililiki keterampilan membaca (reading age) sejalan dengan usianya yaitu 15 tahun, selebihnya 215 orang memiliki hambatan/kesulitan belajar membaca. Lebih dari 50 % anak tunaraungu yang sudah tamat sekolah memiliki keterampilan membaca (reading age) di bawah 7 tahun 10 bulan. Tidak mengherankan bahwa kesulitan membaca pada anak-anak tunarungu sebagai akibat dari kehilangan pendengaran.
Banyak anak tunaraungu memperoleh pendidikan dengan menggunakan bahasa lisan. Kelly (1995) melaporkan bahwa anak tunarungu yang rata-rata berusia 18 tahun, memiliki keterampilan membaca (memahami isi bacaan) setara dengan anak uisa 10 tahun, hanya 3% dari jumlah anak tunarungu yang diteliti memiliki keterampilan membaca (memahami bacaan) setara dengan usianya. Gregory (1995) melaporkan bahwa hanya 32 % dari 82 anak tunarungu dapat membaca dan memahami isinya, 25% dari 82 orang dianggap buta huruf, karena hanya dapat membaca kata atau sama sekali tidak dapat membaca. Timbul pertanyaan mengapa membaca begitu sulit bagi anak-anak tunarungu?
Sebuah penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Goswami & Bryant (1990) menunjukkan bahwa terdapat hubunngan yang sangat kuat antara kesadaran tentang bunyi bahasa (Phonological awareness) sebelum belajar membaca dengan kemampuan membaca lebih lanjut. Anak tunarungu memiliki kesadaran bunyi (phonological awareness) yang rendah jadi sangat logis apabila mereka memiliki kesulitan dalam belajar membaca.
Harris & Beech (1998) meneliti tentang kesadaran fonologi (Phonological awareness) anak tunarungu yang berusia 4-6 tahun dan anak mendengar usia 5 tahun. Semua anak tersebut baik yang mendengar maupun anak tunarungu baru belajar membaca permulaan. Anak-anak diperlihatkan kepada gambar objek, misalnya boneka (doll), kemudian disebutkan atau diisyaratkan oleh tester. Jika anak menyebutkan atau mengisyaratkan dengan benar, kemudian diperlihatkan dua gambar berikutnya yaitu gambar anjing (dog) dan gambar cangkir (cup). Anak ditanya gambar manakah yang mempunyai bunyi awal sama seperti bunyi pada gambar pertama? Pada contoh ini, jawaban yang benar adalah dog (anjing), karena memiliki bunyi awal yang sama dengan bunyi doll (boneka). Anak-anak tunarungu dapat menyelesaikan 60% tugas ini, sementra itu anak yang mendengar dapat menyelesaikan 81%. Perbedaan ini cukup signifikan. Kesadaran fonologi (phonological awareness) secara signifikan berkorelasi positif dengan keterampilan membaca selanjutnya, baik pada anak tunarungu maupun pada anak yang mendengar.
Hasil penelitian Harris dan Beech (1998) membuktikan bahwa keterampilan membaca pada anak harus didasari oleh keterampilan fonologis sebagai prasyarat. Artiyna sebelum anak belajar membaca (memahami sibol visual) seharusnya sudah memeiliki kesadaran fonologis terlebih dahulu. Oleh sebab itu program pembelajaran pada pendidikan pra-sekolah, termasuk bagi anak tunarungu seharusnya dilakukan aktivitas belajar yang bersifat readiness program (program penyiapan untuk belajar secara formal), bukan pembelajaran yang bersifat akademis formal seperti belajar membaca, menulis dan matematika secara langsung. Pembelajaran yang bersifat akademis secara secara formal dalam pendidikan pra-sekolah baik bagi anak mendengar maupun bagi anak tunarungu, menurut Haris & Beech dapat dipandang sebagai sebuah kesalahan dalam pendidikan.
5.    Dampak Tunarungu terhadap Perkembangan Sosial dan Emosi
Keberhasilan interaksi dengan orang lain tergantung kepada keterlibatan individu berbagi dalam berbagi sistem komunikasi yang digunakan. Banyak sekali bukti yang menunjukan bahwa faktor utama yang mempengaruhi keefektifan komunikasi antara anak tunarungu dengan orang tuanya adalah status pendengaran orang tua. Anak tunarungu dengan orang tua dan tunarungu lainnya yang menggunakan isyarat berkomukasi sama efektifnya dengan anak mendengar berkomunikasi dengan orang yang mendengar lainya. Sebaliknya, banyak anak tunarungu yang orang tuanya meandengar mengalami kesulitan dan tidak pernak mencapai cara yang efektif dalam berkomunikasi dengan orang yang mendengar.
Selain itu, sementara orang tua yang tunarungu melakukan penyesuain ketika mereka berkomunikasi dengan anaknya yang juga tunarungu. Orang tua anak tunarungu yang mendengar juga melakukan penyesuaian ketika berkomuniksi dengan anaknya yang tunarungu seperti yang dilakukan oleh orang tua yang tunarungu, akan tetapi ternyata tidak mendapat keuntungan. Ini berarti bahwa tidak adak kesulitan dalam interaksi sosial antara anak tunarungu dengan orang tuanya yang juga tunarungu, tetapi akan menjadi persoalan bagi anak tunarungu yang orang tuanya mendengar.
a)    Dampak Tunarungu dalam Interaksi dengan Orang Lain
Anak tunarungu cenderung akan bermain sendirian dan melakukan permainan yang tidak bdersifat fantasi dibanding dengan anak yang mendengar pada usdia yang sama (Spencer & Deyo, 1993). Hal ini disebabkan bahwa interaksi dan bermain dengan orang lain, terutama yang bersifat fantasi hanya dapat dilakukan dengan berkomunikasi secara efektif. Bayangkan, misalnya ketika anak bermain dengan membuat dahulu sebuah ceritera, berbagi ide dan membuat aturan dalam bermain. Kegiatan sepeti itu akan sangat sulit dilakukan oleh anak tunaraungun jika mereka memiliki keterampilan berkomuniaksi dan keterampilan berbahsa yang terbatas.
Lederberg (1991) telah melakukan observasi bahwa anak tunarungu pra-sekolah yang memiliki keterampilan bahasa yang baik memungkinkan untuk bermain dan berkomunikasi dengan lebih banyak orang dibandingkan dengan anak yang keterampilan berbahasanya kurang baik. Selanjutnya, Lederbeg, Ryan, & Robbins (1986) menemukan adanya korelasi yang signifikan antara kompetensi bahasa anak tunrungu usia 4-7 tahun dengan beberapa pengukuran tentang interaksi mereka dengan tunarungu lainnya, termasuk jumlah waktu dalam berinteraksi, jumlah giliran, dan prekuensi episode bermain fantasi. Hal yang mengherankan dari penelitian Lederberg dkk bahwa tidak ditemukan korelasi antara sifat interaksai (nature of interaction) dengan bahasa yang digunakan selama interaksi berlangsung. Lederberg dkk menjelaskan bahwa yang pentingseberapa banyak bahasa digunakan selama interaksi dilakukan, tetapi tergantung kepada pemahaman anak yang menyeluruh dan keterlibatan dalam berinteraksi.
Mavin & Kasal (1996) menemukan bahwa anak tunarungu pra-sekolah usia 4-6 tahun di sebuah taman kanak-kanak, berkomunikasi dengan teman sebayanya hanya tentang apa yang terjadi saat itu, membiarakan tentang pbjek dari pada tentang orang, sedikit sekali pembicaraan tentang pengalaman yang sudah dilalui dan peristiwa yang bersifat imajinasi. Akan tetapi status pendengaran anak tunarungu, dengan siapa mereka bermain mungkin akan berpengaruh dalam berinteraksi.
Selanutnya Levine & Antia (1997) mengobservasi anak tunarungu berusia 3-6 tahun selama 2-24 setiap minggu dan ditemukan bahwa anak tunarungu usia 3-5 tahun lebih memungkinkan bermain bersama, sementra anak tunarungu usia 5-6 tahun bebrapa dari mereka bermain bersama dengan anak yang mendengar. Hal yang paling menarik adalah cara bermain yang dilakukan berbeda tergantung kepada status pendengaran dari kelompok. Ketika anak tunarungu bermain bersama, permainan terutama bersifat manipulatif dan konstruksitf, sedangkan dua atau lebih anak tunarungu bermain dengan anak yang mendengar, mereka bermain terutama bersifat konstrukstif dan dramatik. Levina & Antia menjelaskan bahwa temuan ini menunujukan bahwa anak tunarungu membutuhkan anak tunaraungu lainya untuk berkomunikasi, tetapi juga membutuhkan anak yang mendengar untuk memulai dan menjadi model bermain yang lebih canggih.
Di dalam situasi di mana ada anak tunarungu dan ada anak yang mendengar, meskipun berbeda dalam status pendengaran, mereka berinteraksi satu sama lain dalam sebagian waktu. Anak tunarungu berinteraksi dengan anak tunaraungu dan anak yang mendengar berinteraksi dengan anak yang mendengar (Minnett, Clark, & Wilsons, 1994). Hal ini disebabkan komunikasi dengan orang lain dalam status pendengaran yang sama lebih mudah dari pada dengan orang lain yang berbeda satus pendengarannya, dan karena anak yang mendengar lebih memilih berkomunikasi dengan orang yang dapat berkonukasi (konukasi akan lebih mudah). Anak yang bisa mendengar dipilih sebagai teman bermain.
Rodriguez & lana (1996) menemukan bahwa status pendengarn dan saling kenal merupakan sifat dari interkasi anak tunaraungu bersuasi 2-5 tahun dengan anak tunarungu lainnya dan anak yang mendengar. Interaksi pada kelompok yang berjumlah tiga orang atau lebih giliran jauh lebih sering terjadi ketika dua orang tunaraungu yang saling mengenal berinteraksi, selanjtnya lebih sering terjadi ketika tunarungu yang saling tidak mengenal berinteraksi, kemudian antara tunarungu dan yang mendengar berinterkasi. Sangat jarang terjadi interasksi antara anak tunarungu dengan anak yang mendengar yang tidak familiar. Gaines & Halpern-Feisher (1995) mencatat bahwa anak kembar berusia 1- 3 tahun satu diantara mereka tunarungu, jarang berinteraksi satu sama lain, meskipun keduanya berinteraksi dengan orang dewasa.
Semakin efektif komunikasi anak tunarungu, semaikin mirip interaksi seperti anak yang mendengar (Preisler, 1983, Preisler & Ahlsrom, 1997). Preisler, 1983 mengobservasi anak tunarungu berusia 3-7 tahun yang bersekolah di TK biasa. Semua anak di sekolah ini memililiki orang tua yang mendengar. 5 orang anak tunarungu mulai belajar bahasa isyarat pada usia 1-3 tahun, dan 10 orang mulai belajar pada usia 3-6 tahun. Anak yang belajar bahasa isyarat lebih dini memiliki strategi komunikasi yanglebih efektif dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kaidah yang mendasari komunikasi dengan orang lain daripada anak tunarungu yang belajar lebih kemudian. Tunaraungu yang menggunakan isyarat sejak awal lebih antentif terhadap teman bermainnya dan memperoleh perhatian sebelum berinteraksi.
Jika anak tunarungu dapat berisyarat dengan anak tunaraungu lainnya, interaksi mereka akan sangat mirip seperti apad anak yang mendengar. Tetapi anak tunaraungu yang orang tuanya mendengar (dcHP) tidak akan memiliki akses kepada anak tunaraungu lainya. Apa yang akan terjadi apabila seorang anak tunarungu tidak memilki akses kepada tunarungu lainnya? Shaw & Jamieson (1995) mengobservasi anak tunarungu laki-laki usia 8 tahun di sekolah biasa. Anak ini berinterkasi pada saat belajaar dengan temannya yang meandengar hanya 25% dari seluruh waktu yang dimiliki. Interaksi yang terjadi antara anak tunarungu ini dengan temannya yang mendengar sering sangat singkat, terpotong-potong dan sering tidak saling mengerti.
Jelas sekali bahwa tunarungu akan menjasi sangat terisolasi dan mempengaruhi interkasi dengan anak-anak lainnya yang mendengar, terutama apabila tidak ada kesempatan untuk bergabung dengan anak tunarungu lainya.
b)    Anak Tunarungu dalam Memahami Dirinya sendiri
Anak tunarungu yang lahir dari orang tuanya yang tunarungu (dcDP) yang mengunakan bahasa isyarat sebagai cara untuk berkomunikasi, memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang menjadi anggota masyarakat tunarungu, mampu berkomunikasi di antara mereka dengan pandangan positif tentang diri mereka sendiri sebagai masyarakat tunarungu. Sebaliknya, anak tunarungu yang orang tuanya mendengar (dcHP) sering kali tidak dapat melakukan komunikasi yang efektif, mereka sering merasa bahwa mereka bukan anggota masyarakat yang mendengar dan bukan pula angota masyarakat tunarungu. Oleh karena itu tampaknya bahwa status pendengaran orang tua dari anak tunarungu mempunyai peranan yang sangat penting dalam hal anak tunaraungu melakukan penyesuaian terhadap kerusakan pendengaran yang mereka alami. Akan tetapi Orang tua anak tunarungu yang mendengar (dcHP) sangat bervariasi dalam melakukan komunikasi dengan anaknya yang tunarungu dan memiliki sikap yang bervariasi pula terhadap tunarungu. Faktor-faktor ini mungkin sangat penting dan menentukan seberapa bagus anak tunarungu dapat melakukan penyesuaian terhadap kerusakan pendengaran yang mereka alami.
Gregory (1995) melakukan wawancara kepada sejumlah tunarungu dimana orang tuanya hanya menggunakan pendekatan oral dalam berkomunikasi ketika anak tunarungu masih anak-anak. Di dalam wawancara itu ditanyakan kepada mereka yang tunaraungu tentang bagaimana mereka memandang diri mereka: sebagai orang yang senang/gembira atau sedih; sebagai orang yang sangat percaya diri atau kurang percaya diri; apakah menyuaki diri sendiri, apakah bangga terhadap diri sendiri; apakah dapat memaafkan diri sendiri, dan apakah mereka ingin berubah. Dari 61 tunarungu yang diwawancarai, 31% menjawab semua pertanyaan secara positif. Akan tetapi, 69% menjawab pertanyaan secara negatif. Data hasil wawancara ini mencerminkan bahwa kebanyakan orangtunarungu memiliki perasaan negatif terhadap drinya. Data ini juga dapat dijadikan prevalensi tentang kemungkinan banyaknya tuanrungu akan mengalami gangguan psikiatri pada masa dewasa.
Hindley, Hill, McGuigan & Kitson (1994) menemukan bahwa remaja yang mengalami tunarungu berusia 11-16 tahun di London memiliki kecenderungan yang tinggi mengalami masalah psikiatri, terutama mengenai kecemasan dan phobia. Sebanyak 81 orang anak tunarungu di diwawancara dengan menggunakan angket yang dikembangkan khusus untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya masalah masalah psikiatari pada anak tunarungu. Hasilnya menunjukkan bahwa 50% dari jumlah itu memiliki kemungkinan yang sangat tinggi untuk mempunyai masalah psikiatri, dibandingkan dengan anak-anak yang bukan tunarungu yang hanya memiliki 25% kemungkinan untuk mengalami gangguan psikiatri. Sementara itu anak-anak tunarungu yang bersekolah di sekolah khusus untuk tuanrungu yang menggunakan pendekatan oral memiliki kemungkinan lebih besar (61%) untuk mengalami masalah psikiaatri, sedangkan anak-anakm tunarungu yang bersekolah di sekolah khusus yang menggunakan bahasa isyarat medan pendekatan oral secara bersamaan miliki kemungkinan 42% mengalami maslah psikiatri.
Dari data hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa ketidak efektifan dalam berkomunikasi pada anak-anak tunarungu dapat menimbulkan pandangan negatif terhadap dirinya sendiri dan kemungkinan untuk mengalami masalah psikiatri prevalensinya cukup tinggi.
Data hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan bahasa isyarat oleh tunarungu dapat menigkatkan keefektifan anak tunarungu dalam berkomunikasi dan dapat mereduksi kemungkinan timbulnya maslah psikiatri. Vostanis, Hayes & Du Feu (1997) mengobservasi anak tunarungu berusaia antra 2-11 tahun yang besekolah di Taman Kanak-Kanak khusu bagi tunarungu. Semua guru di sekolah ini menggunakan pendekatan dua bahasa yaitu bahasa isyatar (British Sign Language) dan bahas Ingris. Hasil observasi menunjukkan bahwa hanya 30% dari anak tunarungu memiliki kemungkinan mengalai masalah psikiatri. Dari data ini dapat ditafsirkan bahwa penggunaan dua bahasa (oral dan isyarat) bagi tunarungu memberikan kesempatan kepada anak untuk berkomunkasi lebih mudah.
Kita telah melihat bahwa kemampuan anak tunarungu untuk berkomunikasi dengan orang lain dengan mudah dan efektif, mempengaruhi perkembangannya, dalam hal ini perkembangan interaksi dan penysesuaian diri.
Bimbingan untuk anak tunarungu ditekankan pada pemberian informasi dan bantuan dalam menyusun rencana pendidikan lanjutan dan rencana pilihan pekerjaan. Karena itu bimbingan yang diberikan adalah bimbingan karir, dimana bimbingan karir ini adalah untuk menyiapkan individu tunarungu dalam menetapkan suatu pekerjaan.

E.    Pelayanan/ Bimbingan bagi Siswa dengan Hambatan Pendengaran
1.    Konsep dasar bimbingan karir, fungsi, dan tujuan bimbingan karir
Fungsi bimbingan karir bagi siswa dengan hambatan pendengaran yang termasuk kategori tunarungu di SLB-B maupun di sekolah reguler adalah menyelanggarakan seluruh layanan bimbingan yang penekanannya pada pemberian informasi dan bantuan kepada siswa tunarungu dalm menyusun rencana pendidikan lanjutan dan rencana pilihan pekerjaan bagi siswa tunarungu yang telah memasuki jenjang SLTP/SLTA, rencana pendidikan dan pilihan pekerjaan tersebut merupakan dua hal yang berkaitan erat. Sasaran akhir pendidikan lanjutan adalah untuk menentukan pekerjaan. Sedangkan bimbingan karir adalah suatu proses pemberian bantuan atau layanan penerangan/informasi, pengalaman, dan nasihat kepada individu untuk memilih, menyiapkan,m enyesuaikan dan menetapkan dirinya dalam suatu pekerjaan.
Pada kurikulum PLB (2004) dijelaskan bahwa pendidikan luar biasa yang bertujuann membantu peserta didik yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental dan atau prilaku agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi, amampu menjadi anggota masyarakat dalam mengadakap hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunai kerja atau mengikti pendidikan lanjutan. Dengan demikian, maka program bimbingan karir iotu bertujuaan agar siswa tunarngu mampu menyusun rencana karir dan mengambil keputusan karir sera mengambil langkah-langkah tindakan yang relevan untuk mewujudkan keputusan yang akan diambil.
Dalam kaitan dengan program bimbingan karir, dikenal adanya pengembangan program komprehensif. Program ini bertujuan sebagai dasar upaya menentukan kebutuhan siswa, tujuan siswa, dan mengevaluasi keefektifan oprasional program. Program itu mencakup 4 fase kegiatan yaitu perencanaan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi. Langkah-langklah itu harus mempertimbangkan hal-hal berikut ini:
a.    Menentukan rancangan evaluasi
b.    Menentukan kebutuhan siswa
c.    Menentukan tujuan umum
d.    Merumuskan tujuan khusus
e.    Memilih, menjadwalkan, membantu oprasional untuk memberikan layanan kegiatan yang dirancang untuk membantu para siswa mencapai tujuan
f.    Mengembangkan keterampilan-keterampilan dari staf yang diperlukan
g.    Mengevaluasi program, membuat perubahan-perubahan yang diperlukan, dan laporan hasil.
Adapun alasan penting nya membimbingan karir ini bagi siswa dengan hambatan pendengaranyang termasuk kategori yunarungu adalah sebagai berikut:
a.    Lulusan SLB-B tidak memilih arah karier yang jelas, mereka kurang siap dalam bersaing dengan kerasnya kehidupan sosial. Padahal beberapa jenis dan lapangan pekerjaan,sebenarnya tebuka bagi mereka.
b.    Siswa tuna rungu secara teoritis sangat potensial untuk dikembangkan dalam berbagai keterampilan.
c.    Permasalahan lainnya yang dihadapi oleh SLB-B dan Sekolah Umum saat ini di lapangan adalah belum tersedianya konselor dan Guru Pembimbing khusus yang spesial untuk menanganin siswa tunarungu.
d.    Belum adanya pelaksanaannya bimbingan karir bagi siswa tunarungu yang disesuaikan dengan kondisi anak dan kebutuhan lapangan kerja.
e.    Belum terwujudnya kerjasama dengan departemen terkait, seperti : departemen Perindustrian, Departemen Tenaga Kerja serta Departemen lainnya. Padahal kerjasama ini akan sangat berguna bagi siswa dalam memantapkan keterampilan yang diberikan di sekolah sehingga siswa menjadi lebih profesional.

2.    Pengembangan program Bimbingan Karir
Pengembangan program bimbingan karir yang sistemattis adalah sesuai dengan kebutuhan siswa tunarungu. Hal ini dilaksanakan dengan tujuan agar program yang dirumuskan mampu menyentuh aspek kebutuhan siswa dan kemampuan personil guru dalam pelaksanaan bimbingan karir. Program bimbingan karir yang baku masih mengacu kepada program kurikulun sekolah umum,. Data-data mengenai identitas, kebutuhan, karakteristik, faktor penyebab ketunarunguan, tingkat pendengaran, telahdiketahui guru sejak awal, yaitu ketika anak pertama kali masuk sekolah. Untuk mengetahui kebutuha-kjebutuhan karir siswa, dapat dilakukan oleh guru pada saat siswa melakukan aktivitas belajar sehari-hari. Semua guru, baik guru kelas, guru keterampilan, guru pembimbing, meyakini pentingnya perencanaan untuk mengetahui identitas siswa dan kebutuhan-kebutuhan yang menunjuang karir, itu semua sebagai dasar untuk menentukan pemberian materi, penempatan siswa sesuai dengan bakat dan potensinya sehingga memudahkan dalam pemberian bimbingan karir.
Pemberian materi bimbingan karir disatukan dengan bidang studi keterampilan, misalnya: keterampilan komputer, mesin, pertukangan, tata busana, tata boga, jahit menjahit, percetakan, sablon,dll. Materi yang secara khusus ubtuk bimbingan karir belum ada ddan belum mengacu kepada pengembangan karir siswa, Padahal menurut Super dan Jordan (Dillar,1998:19-20) mengemukakan bahwa pemberian materi harus mengacu kepada perkembangan karir siswa yang mencakup tiga tahap, yaitu: Tentatif, Transisi, dan tahap mencoba. Padahal kegiatan layanan bimbingan karir belum dilaksanakan secara sistematis dan teoritis, karena dalam pelaksanaannya masih diintegrasikan dengan bidang studi keterampilan-keterampilan, baik waktu, aktivitas, prosedur, teknik, dan langkah-langkah pelaksanaan. Pengembangan program bimbingan karir dalam layanan nya dapat dikembangkan dengan memberikan layanan kegiatan yang dirancang untuk membantu siswa tunarungu mencapai tujuan serta dilaksanakan secara sistematis dan merujuk kepada kaidah-kaidah teoretis.
Pada umumnya guru pembimbing belum memantau dan mengevaluasi kegiatan bimbingan karir, dari mulai menentukan asessment, identitas siswa kebutuhan-kebutuhan yang menunjang karir maupun kepada materi bimbingan karir, secara khusus tentang sejauh mana potensi,bakat,minat, dan kemampuan siswa tunarungu bekerja di perusahaan-perusahaan atau memonitor siswa yang sudah mandiri. Berdasarkan aspek-aspek yang di evaluasi tersebut, maka pembimbing dapat menilai apakah ada kesesuaian program dengan pelaksanaan bimbingan karir, termasuk kesesuaian antara masalah dan kebutuhan yang dirasakan siswa tunarugu dalam bimbingan karir.
Setiap siswa tunarungu bebeda-beda, baik dalam hal hambatan belajarnya, faktor penyebab ketunarunguannya, tingkat kehilangan pendengaran, maupun kebutuhan-kebutuhan karirnya. Kebutuhan-kebutuhan yang menunjang karir siswa tunarungu, antara lain:
a.    Pengetahuan/pemahaman yang dapat mengantarkan mereka mencapai tingkat perkembangan optimal, sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
b.    Akses kebahasaan yang lebih banyak.
c.    Media komunikasi yang dapat diterima dan dipahami oleh semua pihak.
d.    Keseimbangan (lokomotor coordination) yaitu kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan dalam bergerak.
e.    Meningkatkan kepercayaan dirinya untuk mandiri.
f.    Deskripsi tentang jenis-jenis karir yang sesuai dengan potensi, persepti, realitas, serta dapat menghubungkan dirinya dengan dunai kerja.
Kepala sekolah, sebagai penanggung jawab penuh kegiatan sekolah, hendaknya dapat mengkoordinasikan dan memfasilitasi dalam upaya ketercapaian tujuan pendidikan. Program bimbingan karir ini dapat direkomendasikan dan diaplikasikan secar terencana oleh kepala sekolah kepada guru khusus yang mampu membimbing karir serta dengan pihak terkait, seperti orang tua, perusahaan-perusahaan yang menerima siswa tunarungu, supaya program bimbingan karir ini,sesuai dengan kebutuhan siswa tunarungu dalam mencapai karir dimasa mendatang.
Guru yang ditunjuk sebagai konselor bimbingan karir diharapkan dapat melaksanakan bimbingan karir sesuai dengan kebutuhan siswa tunarungu. Guru konselor bimbingan karir seyogyanya yang memiliki latarbelakang pendidikan bimbingan dan konseling dan memahami kondisi objektif ketunarunguan ynag dialamni siswa. Orang tua, diharapkan dapat mengetahui kebutuhan putra-putrinya akan karir dan memberikan dukungan pada pelaksanaan program bimbingan karir yang dikembangkan di sekolah. Demikian pula pada perusahaan-perusahaan, diharapkan melalui bimbingan karir ini dapat mengetahui potensi-potensin karir siswa tunarungu, dan memahami bahwa siswa tunarungu memilki kemampuan untuk bekerja seperti orang-orang pada umumnya,serta menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan anak tunarungu supaya program bimbingan karir yang dirancang oleh sekolah sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Terdapat istilah yang berkaitan dengan gangguan pendengaran yaitu istilah hearing impairment (tunarungu). Hearing impairment dikategorikan menjadi dua yaitu deaf (kondisi kehilangan pendengaran yang berat) dan hard of hearing (keadaan masih memiliki sisa pendengaran). Definisi gangguan pendengaran dilihat dari Pandangan fisiologi yang lebih menekankan pada pengukuran tingkat hilangnya pendengaran  dan Pandangan yang berorientasi pendidikan yang memperhatikan seberapa banyak hilangnya pendengaran dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk berbicara dan mengembangkan bahasa.
Karakteristik penderita gangguan pendengaran dapat dilihat dari segi fisik, segi bahasa, intelektual, dan sosial-emosional. Adapun penyebab gangguan pendengaran diantaranya infeksi telinga, infeksi selama kehamilan, genetika, penyakit, kebisingan, transfusi darah, kelainan syaraf dan otak.
Kehilangan fungsi pendengaran memiliki dampak terhadap perkembangan anak secara keseluruhan, antara lain berdampak pada perkembangan motorik, perkembangan perseptual, perkembangan fungsi kognitif, perkembangan komunikasi, serta berdampak terhadap perkembangan sosial dan emosional.
Bimbingan untuk anak tunarungu ditekankan pada pemberian informasi dan bantuan dalam menyusun rencana pendidikan lanjutan dan rencana pilihan pekerjaan. Karena itu bimbingan yang diberikan adalah bimbingan karir, dimana bimbingan karir ini adalah untuk menyiapkan individu tunarungu dalam menetapkan suatu pekerjaan.

B.    Saran
Setelah mempelajari tentang bimbingan bagi anak berkebutuhan khusus, terutama yang menderita hambatan pendengaran, diharapkan sebagai pendidik mampu membedakan karakteristik siswa yang berkebutuhan khusus tersebut. Sehingga pendidik mampu memberikan pelayanan secara optimal agar tujuan pendidikan dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA
  • Dokter Sehat. (2014). Penyebab Gangguan Pendengaran pada Anak. [Online]. Tersedia: (http://doktersehat.com/penyebab-gangguan-pendengaran-pada-anak/). [Sabtu, 27 September 2014].
  • Hidayat, dkk. (2006). Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: UPI Press.
  • Latifah, Melly. (2010). Implikasi Assessment dan Diagnosis pada Anak Penderita Gangguan Pendengaran terhadap Treatment dan Pendidikannya. [Online]. Tersedia: (http://mellylatifah.blogspot.nl/2010/04/implikasi-assessment-dan-diagnosis-pada.html?m=1). [Sabtu, 27 September 2014].
  • Nurrohmah, Ati. (2013). Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus (BABK). [Online]. Tersedia: (http://nurrohmahblogger.blogspot.com/2013/11/ bimbingan-anak-berkebutuhan-khusus-babk.html). [Sabtu, 27 September 2014].
Baca Makalah Sebelumnya

Pengunjung